Air mata itu
(sd-Islam, Minggu 26 Mei 2002)
Menjadi orang tua yang bijak, alangkah tidak
mudah.
Gibran Kahlil Gibran pun tampaknya angkat tangan
dan menggoreskan ketidakberdayaan itu
dalam baris sajak nan indah:
....anak laksana mata panah lepas dari busurnya.
....tak kuasa lagi kita untuk
mengendalikannya.
***
Berbeda dengan anak pertama yang tinggi besar,
keras kemauan, disiplin dan percaya diri, anak kedua kami memiliki profil yang
mungil, pemalu, kurang percaya diri dan lembut
hati.
Ketika kakaknya diterima di
mula-mula dia sangat menikmati hari-hari
sekolahnya di tempat yang terpisah. Lepas dari bayang-bayang
sang kakak.
Dua bulan dia sekolah di Bowling Park Nursery,
adalah saat-saat terindah bagi putri kami itu.
Setiap kali pulang sekolah, dia
tertawa-tawa dengan riang gembira.
"Widya,
kamu di TK diajari apa saja...?"
"..
"Lho lha sekolah kok enggak tahu diajarin apa, lha kamu ngapain aja di
"Ohhh..painting,
sing a song, main sepeda, nempel, main pasir...hii..jorok
ya, pasir
Tawa riang itu tiba-tiba lenyap.
Widya tak mau lagi sekolah.
Setiap kali diantar, selalu mengelendot dan
meraung-raung histeris. Menggapai-gapai,
dalam pelukan guru TK nya yang cantik jelita. Tak kuasa kami menatap matanya yang bening
menggenang.
Lari secepatnya dengan hati yang porak
poranda.
Sepulang sekolah, berkali-kali kami datangi
ibu gurunya itu.
Menanyakan apa gerangan
yang membuat Widya berubah seratus delapan puluh derajad.
Tak ada titik terang.
Suram.
Muram.
***
"Widya, please ayohlah sekolah lagi, nanti
Papah dan Mamah ditangkap Pak Polisi dan put in the jail, we will be alone
!" kata kakak sulungnya ikut khawatir.
"Aku enggak mau
sekolah..." katanya terisak disertai buliran mutiara yang membanjir deras
dari dua bola matanya.
"Kenapa? temanmu nakal? gurunya
galak? kamu kesulitan bahasa Inggris?"tanya kami was-was setiap pagi hampir sepanjang satu bulan
'pembelotan' itu.
Widya hanya menggelengkan kepalanya.
Kami introspeksi. Jangan-jangan, dia mengalami fase yang mirip
dengan kakaknya dulu semasa di
Semenjak lahir dan usia 2
tahun, Widya memang besar dibawah asuhan kami sendiri.
Tidak ada Eyang
Tidak ada Bu Dhe
Tidak ada Tante
Tidak ada siapa-siapa
Semuanya berada nun jauh di
Terpisahkan oleh samudra.
Itu agaknya yang membuat dirinya merasa
kurang nyaman di keramaian. Apalagi
semenjak adik laki-lakinya lahir.
Tidak ada rasa cemburu.
Hanya rasa kasih yang terenggut dari
belaian ibunya di setiap malam menjelang tidurnya.
Tidak ada Eyang
Tidak ada Bu Dhe
Tidak ada Tante
dan kini..
Tidak ada Ibu.
........
Ayahlah satu-satunya tempat aku
menyandarkan perahu.
Berlabuh dalam kasih sayang,yang
kadang mesti aku perebutkan pula dengan kakak sulungku, barangkali
begitu pikirnya.
***
Sampai suatu pagi.
"Pah,
aku mau sekolah lagi. Now I can speak English and not scare anymore."
Subhanallah !
Keajaiban dari mana lagi ini, batin saya
tidak mengerti.
Sepulang sekolah, yang hanya 2,5
jam itu kami sambut putri mungil kami itu bagai seorang juara.
"Widya, kamu boleh makan loly, es krim, ...makan apa aja yang kamu suka." kata istri saya
dengan semangat '45, Hallo-hallo
"Boleh nonton video sekarang, enggak
usah nunggu hari Sabtu. Okey, kamu mau nonton
apa? Lion King, Home Alone?"
Mendadak pucat wajah Widya mendengar dua
judul film itu disebut.
"Kenapa
Widya?"
Tiba-tiba dia menangis.
"Aku...aku...tak
mau papah pergi,...aku takut!"
Kami berpandangan, bingung.
"Widya
is scared because in that two films, there are section about daddy that leave
his child." kata kakak sulungnya yang tampaknya mulai lebih mengerti jiwa adiknya
dari pada kami sendiri.
"Oh, astagfirullah, rupanya itu tho
yang membuat Widya enggak mau sekolah?" tanya saya serta merta.
"Iya,
aku tidak mau Papah mati meninggalkan Widya seperti dalam film Lion King itu. Aku enggak mau sendirian,
terlunta-lunta, seperti dalam film Home Alone itu. Aku
takut. Papah jangan tinggalkan Widya"
Ohhh my lovely little lady.
Betapa lembut hatimu.
Betapa jauh imajinasimu,menerawang,
menerobos batas-batas khayalan dan alam nyata.
Kami peluk anak kami itu.
Widya sebegitu lembut perasaanmu.
Sehingga, film semacam itu dapat
menggoreskan makna yang dalam di kalbumu.
"Lha terus sukanya film apa, okey you
choose it?" kata kakak sulungnya membesarkan hati.
"Kindergarten
cop !" teriaknya girang.
Kami mengernyitkan dahi.
"Oh
yes dad, because in that film, there is a song .....
...Kindergarten is the best !"
timpal anak sulung kami lagi.
O.....la...la..
Tak mau sekolah akibat nonton film.
Kembali ke sekolahpun karena nonton film
pula.
Alhamdulillah,
Kalau begitu,
Betapa syukur hati kami
Untuk sementara diungsikan,
Terhindar dari acara-acara TV Indonesia yang penuh
dengan sinetron perkelahian
dan pertengkaran suami-istri tiada henti
Tak ada lagikah kesejukan tersisa
dalam kehidupan keluarga Indonesia?
(Bersambung)
=================================================================