TANGIS SEORANG USTADZ
Dalam
berda'wah, materi kequr'anan adalah materi asas. Baik
yang menyangkut tilawahnya,
tajwidnya, hafalannya, pemahaman terhadapnya, pengamalannya, pembentukan karakter orang-orang-nya, cita-cita-nya, dan penerapan-nya dalam kehidupan.
Namun
demikian, terkadang kita temui, ada
sebagian (wallahu a'lam, sebagian
kecil
atau sebagian besar) da'i yang bacaan Al Qur'an-nya masih belepotan, dalam arti, perbedaan
antara satu huruf dengan huruf
lainnya belum jelas, bahkan, ada yang warna dialek daerahnya masih sangat kental.
meng-ghunnah-kan
huruf-huruf yang harusnya izh-har atau meng-qalqalah-kan huruf-huruf yang tidak termasuk dalam kategori qalqalah. Apalagi kalau
tataran
kritis kita sudah sampai pada
tingkatan makharijul huruf dan shifatul
huruf, tentunya, akan semakin banyak
lagi fenomena-fenomena kesalahan yang terjadi pada sebagian da'i
yang ada.
Ini
baru kelemahan-kelemahan aspek tilawah yang berkenaan dengan tajwid,
yang
bisa jadi, levelnya atau maqam-nya sudah
dianggap tinggi.
Namun,
kenyataan yang terjadi pada sebagian da'i
yang ada (wallahu a'lam, sebagian kecil atau sebagian
besar), ternyata kondisinya bisa (sekali lagi) bisa
lebih parah lagi, sebab, ternyata
fenomena yatata'ta' (yang membacanya masih ak uk ak
uk) juga tidak bisa dikatakan sedikit, meskipun juga tidak
bisa kita katakan banyak sekali, padahal, tolok masyarakat kita (meskipun sering sekali kita
katakan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat tradisional) adalah bagaimana kualitas bacaan seorang da'i.
Menyadari
adanya sebagian fenomena seperti ini, ada seorang
ustadz (ya, ia adalah
seorang ustadz, paling tidak, begitulah sesama da'i memanggilnya)
yang mengusulkan agar ditetapkan
adanya satu persyaratan khusus tentang ke-qur'an-an ini, persyaratan yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi, paling tidak dalam hal kemampuan
tilawah yang bertajwid.
Barangkali
karena pertimbangan sulitnya memenuhi permintaan itu, forum yang dihadiri sang ustadz itu tidak menyetujuinya.
Yang lebih repot lagi ada suara yang mengatakan bahwa yang terpenting adalah bagaimana pengamalannya, perilakunya, dan penerapannya dalam kehidupan, bukan bacaannya.
Barangkali
karena kagetnya sang ustadz itu atas
suara seperti ini, sontak saja
ia menangis
tersedu-sedu.
Secara
harfiyah, suara itu memang terkesan
sangatlah shahih. Akan tetapi, kalau
kita cermati secara mendalam, kita bisa menyimpulkan
bahwa kalimat itu telah masuk
dalam kategori: kalimatu haqqin uriida bihi baathilun
(pernyataan hak, akan tetapi
maksudnya tidak benar), atau paling tidak, kalimat itu adalah kalimat
yang tidak secara seratus persen benar.
Wahyu
yang pertama kali turun adalah IQRA' yang
artinya: BACALAH, di sini bisa kita
simpulkan bahwa aspek QIRA'AH memiliki tempat yang sangat tinggi dan
agama Islam ini. Bahkan ia adalah
MUNTHALAQ (titik
tolak, atau istilah kerennya starting point) dalam agama ini. Proses dan cara Rasulullah saw menerima wahyu-pun menunjukkan bahwa aspek QIRA'AH atau lebih tepatnya
lagi aspek TILAWAH atau lebih tepat
lagi aspek TALAQQI memiliki
tempat yang sangat tinggi dalam agama ini.
Al Qur'an Al Karim, kitab yang menjadi sumber segala sumber
dalam agama ini mempunyai dua nama yang sangat terkenal yaitu Al Qur'an, salah satu
rahasia dari nama ini adalah
karena kitab ini akan terus
dijaga dan dipelihara Allah swt dalam hal BACAAN-nya.
Barangkali karena pertimbangan-pertimbangan seperti inilah, atau semacamnya, seorang ulama' Islam yang dijuluki syaikhul qurra' wal muhadditsin,
yang biasa disebut Ibnul Jazari berkat,
gMenerapkan (mempraktekkan)
tajwid adalah sesuatu yang wajib dan harus. Siapa tidak membaca Al Qur'an secara shahih,
maka ia
berdosa. Karena, demikianlah Allah swt
menurunkan Al Qur'an ini. Dan demikian
pula Al Qur'an itu sampai kepada kita.
Kenyataan
sejarah perjalanan nabi Muhammad saw bersama para sahabatnya dalam berda'wah juga menunjukkan bahwa perhatian beliau saw terhadap Al Qur'an sangatlah besar, dalam banyak
riwayat disebutkan bahwa setiap kali ada muslim baru,
atau muhajir baru, segera Rasulullah
saw serahkan muhajir baru itu kepada
orang Anshar untuk ber-TALAQQI Al Qur'an dan
TALAQQI ini merupakan materi mu'ayasyah pertama dan utama
yang harus diterimanya. Dan
masih banyak lagi kisah-kisah faktual sejarah yang menunjukkan bahwa Al Qur'an adalah materi
pertama dan utama dalam ad-da'watu ilallah,
misalnya: kisah diutusnya Mush'ab bin 'Umair ke Madinah
sebagai duta da'wah bil Qur'an pertama sebelum hijrahnya Rasulullah saw ke
Saudara-saudaraku
yang dimulyakan Allah swt ...
Hentikanlah
tangis sang ustadz di atas dengan
menunjukkan secara nyata adanya gerakan
QUR'ANISASI di kalangan para da'i, jangan
perpanjang daftar para ustadz yang menangis karena tindakan kita yang "mengesampingkan" perhatian kita terhadap Al Qur'an ini, sebab,
bila para ustadz sudah pada
menangis, maka hal ini akan
menjadi pertanda tidak baik bagi
da'wah ini. Kita semua harus sadar,
dengan kesadaran yang membangkitkan himmah, hamasah dan 'azam yang kuat untuk mensukseskan
proyek QUR'ANISASI ini, kita harus buktikan
bahwa da'wah ini adalah da'wah
yang mewarisi da'wah Rasulullah saw dan para sahabatnya, termasuk di dalamnya
adalah mewarisi pe-NOMINASIAN AL-QUR'AN dalam setiap aktifitasnya, jangan sampai kita
termasuk orang-orang yang pernah diadukan (Na'udzu billah min dzalik) oleh Rasulullah
saw kepada Allah swt, sebagaimana yang diceritakan dalam salah satu
firman-Nya:
gBerkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu
yang tidak diacuhkan".
(QS Al Furqan [25]: 30).
Akan
tetapi, kita harus terus berupaya
agar kita termasuk orang-orang yang
disabdakan
oleh Rasulullah saw dalam salah satu
haditsnya:
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur'an dan mengajarkannya.
Ya
Allah swt, jadikanlah kita semua ini
sebagai ahlul Qur'an, ahluka wa khashshatuka
ya akramal akramin.