Mendaftar Sekolah 2
(sd-islam, Jum'at 22 Februari 2002)

Mendapati kenyataan bahwa kami menerima dua respons yang sangat berbeda
dari dua sekolah: satu sekolah dengan tangan terbuka dan serta merta
menerima anak kami, satu sekolah yang lain tampaknya 'mempersulit' proses
penerimaan itu, membuat kami penasaran. Apa sebenarnya kriteria standar
untuk dapat diterima sekolah di Inggris ini?

Siang itu, ketika kami masih termangu-mangu, dari mana mulai melangkahkan
kaki mencari informasi yang akurat tentang kriteria penerimaan siswa itu,
sekonyong-konyong ada orang mengetuk pintu rumah sewa kami itu.

"Hallo, kami dari Dinas Sosial yang berkaitan dengan pengecekan kesehatan
keluarga yang memiliki bayi, boleh kami masuk?" tanya wanita berkulit hitam,
berbadan subur dan berambut kriting-indomie ini.

"Silahkan, silahkan..." jawab kami masih dengan sedikit keraguan, siapa
orang ini gerangan.


"Saya berasal dari
Kiribati (dibaca: Kiribaz), sebuah negara di lautan
Pasifik. Saya sudah lama bertugas di dinas sosial......, " dan masih panjang
lagi proses penjelasan itu.

"Pada intinya, saya harus memastikan bahwa anda mengerti dan mentaati
jadual imunisasi bagi anak-anak anda, ini buku yang berisi jadual, jenis dan
tempat imunisasi yang hanya
lima menit jalan kaki dari rumah ini. Semuanya
tanpa bayar"

Kami terpana, "oooh, untuk imunisasi anak pun, orang-orang Inggris
menjemput bola dari sarangnya." batin kami. Kapan
Indonesia bisa seperti
ini?


"Dua kakaknya yang manis-manis ini, mestinya juga sudah didafarkan
sekolah?"
Tanyanya ramah, tidak terkesan menyelidik, namun tepat pada
sasaran.
Menusuk kalbu, yang belum sempat di'manajemeni' ala Aa Gym ini.
Kami sedikit gelagapan, karena memang anak yang kedua belum mendapatkan
sekolah.


"Pergilah ke Kanwil P&K
kota ini, yang hanya 10 menit naik taksi." kata dia
sambil menunjukkan alamat Kanwil yang dimaksud.


Rupanya, program mencerdaskan bangsa sudah mendarah daging bagi setiap
warga Inggris.
Sehingga walaupun bukan bidang tugasnya, tampaknya orang dari
Dinas Sosial ini pun merasa bertanggung jawab terhadapnya.

...
Tidak menunda waktu pergilah kami ke Kanwil itu.

"Pada dasarnya kriteria utama penerimaan siswa adalah usia. Begitu usia
sudah 3 tahun, anak berhak untuk mulai sekolah. Kriteria kedua adalah lama
berada dalam waktu tunggu.
Jadi siapa yang mendaftar pertama kali dan masuk
dalam waiting list lebih lama, dia yang berhak masuk lebih dulu.
Waiting
list ini bisa langsung dilakukan begitu anak usia 1 tahun." kata orang
Kanwil itu mantap.


" Oh jadi tidak ada kriteria besarnya uang gedung yang disumbang? tidak ada
kriteria ini anak penguasa atau pengusaha? tidak ada kriteria ini anak guru
atau pengelola yayasan? tidak ada tes masuk atau tes psikologi yang
mengada-ada?" tanya kami, bertalu-talu, dalam hati tapi...

"Tidak ada dong,...emangnya kayak di negaramu !" jawab Ka Kanwil itu,
....juga dalam hati tentunya. Lha wong nanyanya juga dalam hati kok !.

"Satu lagi, " sambungnya cepat, melihat kami mlongo, mendapati praktek
Islami dalam penerimaan siswa ini: semua diperlakukan sama, tidak ada
kaya-tidak ada miskin, tidak ada pintar-tidak ada bodoh....yang dinilai
adalah takwanya (tentu yang terakhir ini tambahan dari pesan sponsor...),
"anak-anak yang sudah mempunyai kakak di sekolah itu, juga memiliki
kans
yang lebih besar untuk
diterima di sekolah yang sama. Pertimbangannya selain masalah ekonomis,
juga masalah psikologis anak-anak itu".

"Ini daftar sekolah yang masih memiliki bangku kosong." kata beliau lagi
sambil menyorongkan sekolah-sekolah di lingkungan kami yang bisa menerima
anak kedua kami.
"Tidak ada alasan, bagi sekolah yang masih memiliki daya
tampung tersisa itu untuk tidak menerima anak Bapak."

"
Terima kasih, terima kasih " jawab saya sambil menerima daftar itu. Tak
sengaja tatapan mata kami beradu....Cling! "Wuiiihhh, sudah cantik, ramah,
baik hati pula," batin hati saya...pelan-pelan, agar tidak terdengar istri
saya yang setia menemani saya kemana saja berada. Saya lirik istri
saya,...wuiiihhh cantik juga ...eeeuuy! Lega jadinya, plong gitu! Iya khan,
lega ya mak plong'...masak mak 'kricik-kricik-kricik', itu khan suara
kambing pipis sebelum buat korban di Idhul Adha ini....

Maksud saya, kok beda dengan rata-rata pejabat di
Indonesia itu, yang jika
tahu lagi dibutuhkan, semakin bergaya dan berminyak raut
mukanya...mendeteksi adanya lahan alternatif peningkatan income. Hobby
pungli!.

Akhirnya anak kedua kami diterima di
Bowling Park Nursery School, sekolah
yang hanya 10 menit berjalan kaki namun berlawanan arah dengan sekolah
kakaknya itu.
TK dan SD agaknya tersebar di setiap RW di kota kami ini.

Alhamdulillah

 

(bersambung)