Mendaftar Sekolah (1)

Kami mendarat di Inggris pada waktu yang keliru, di bulan Desember. Bulan
Desember hanya enak didengar manakala didendangkan dalam sebuah lagu
melankolis semacam 'Kenangan Desember' di tangga lagu pop
Indonesia. Bukan
di Inggris.

Hari-hari tampak muram di bulan itu. Hujan turun hampir sepanjang hari.
Angin bertiup sangat kencang merusakkan payung-payung yang kami bawa. Itu
tampaknya yang membuat orang Inggris kurang suka membawa payung. Selain
kurang ekonomis, bagi para gentleman Inggris, membawa payung juga dirasakan
kurang macho.

Saya tidak peduli dengan sebutan macho atau kurang macho itu. Bersama
dengan istri dan anak-anak saya, kami terus berjalan di bawah sepoi-sepoi
salju yang menerpa wajah-wajah tropis kami. Beku membiru.

Hari itu, saya bermaksud mendaftarkan anak saya sekolah. Saya dengar, di
negara-negara yang sudah maju, sekolah adalah hak setiap warga negara yang
telah memasuki cukup usia. Jika orang tua dengan sengaja menghalang-halangi
hak anak tersebut, maka Polisi berhak untuk 'menciduknya', dan
mempersilahkan orang tua tersebut tinggal di hotel prodeo.

Ya sekolah adalah hak, bukan wajib.
Itulah yang kadang saya kurang mengerti, mengapa pemerintah
Indonesia
mencanangkan program wajib belajar 9 tahun. Mewajibkan anak untuk sekolah,
paling tidak sampai lulus SD, namun tidak cukup melakukan usaha yang
memadai. Sedangkan jika program itu bernama hak belajar, maka pemerintahlah
yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakannya dengan segala sarana
pendukungnya.

Kami tiba di Newby Primary school. Tempat di mana rekan-rekan
Malaysia
banyak mendaftarkan anak-anaknya di kawasan kami tinggal. Seorang
receptionist
India menyambut kami dengan trengginas, tegas namun agak
menyakitkan.

"Kalian harus pergi ke medical check up dulu, semua anggota keluarga harus
menjalani general check up, karena kami ingin memastikan bahwa orang-orang
dari manca negara sehat benar-benar sebelum sekolah di sini !"

Sedikit terhina juga, mendapati bahwa kami dari
Indonesia dicurigai membawa
bibit penyakit tropis ke Inggris ini. Namun kami turuti juga kemauan
receptionist itu untuk general check up, karena selain gratis, tempatnya
tidak terlalu jauh, juga sekalian kami ingin tahu kondisi kami sendiri.

Sambil menunggu hasil check up itu, kami mencoba mendaftar ke sekolah lain.
Kami datangi
St. Matthew Primary School. Sekolah yang dikelola yayasan
gereja Inggris.
Teman-teman Malaysia menyarankan, tak apa mendaftar sekolah
Nasrani, asal sekolah itu tidak berdekatan dengan gerejanya. Masalahnya
karena, sulit sekali mendapatkan sekolah Islam (tidak semua
kota
memilikinya), sekolah negara pun terbatas daya tampungnya, dan beberapa
sekolah Nasrani ini tidak mewajibkan yang non Christian mengikuti jam
belajar agama Kristen-nya.

Kami disambut langsung kepala sekolahnya, Mrs. Hattersly dan langsung
ditanyakan usia anak kami, di bawa berkeliling meninjau fasilitas sekolah,
serta ditanyakan kapan mau mulai masuk. Hari ini bisa, besok pun boleh,
katanya.

Saya katakan, anak kami ini, bahasa Inggrisnya nol, sewaktu di Indonesia,
bahkan disarankan oleh guru TK nya untuk jangan dulu masuk SD, karena
anaknya masih angin-anginan. Kadang suka sekolah, kadang tidak. Disuruh maju
Bu Guru pun sering tidak mau. Kalau sudah tidak mau, ya cuek saja tetep
tidak mau, dst-dst yang pada prinsipnya, mohon maklum jika nanti terdapat
kesulitan di awal penanganan anak kami.

"Tidak masalah, " kata Mrs. Hattersly, "Pada dasarnya anak di bawah usia 10
tahun memiliki kemampuan belajar dua bahasa secara paralel." imbuhnya,
membesarkan hati kami.

"Dan tugas kamilah membuat anak-anak menjadi pandai dan bisa beradaptasi,
karena kami percaya dengan sistem yang kami bangun," katanya mantap.

"Sayang, kami hanya memiliki tempat untuk si sulung, karena usia dia 5.5
tahun dan sudah harus masuk kelas 1 SD. Adiknya sudah masuk usia Nursery,
sayang kami belum memiliki jenjang Nursery ini, baru akan kami buka 2 tahun
ke depan."

Kami pulang dengan sedikit lega, setidaknya terhindar dari kemungkinan
diinapkan di hotel prodeo. Sambil harus meneruskan perjalanan kami mencari
Nursery buat anak kedua kami.

Berbagai perasaan berkecamuk di hati kami. Gembira, was-was, gundah,
gulana. Gembira karena kami tidak harus dipandang sebelah mata diwajibkan
tes kesehatan segala. Was-was, dapatkah anak kami nantinya beradaptasi,
mengingat dia satu-satunya orang Melayu di sekolah itu, sehingga sekolah
tidak bisa menyediakan guru bilingual sebagai pembimbing bahasanya. Di mana
guru semacam itu ada di sekolah lain yang cukup memiliki murid etnik
tertentu, bisa guru Inggris-China, Inggris-Singapore, Inggris-Eropa Timur,
dsb.

Gundah, karena harus memasukkan anak di SD Kristen, sedangkan dulu bekalnya
di TK-Alhamidah Arcamanik itu kami rasakan belum kuat mengakar. Gulana,
memikirkan betapa dininya anak-anak Inggris ini harus bersekolah. Usia 3
tahun sudah harus masuk Nursery, 4 tahun Reception dan 5 tahun kelas 1 SD.
Untung semuanya serba gratis, dari buku, pensil, pewarna, bahan prakarya,
dan sebagainya.

Dan kami ikut menuai berkahnya.Alhamdulillah.

(bersambung)