DI SEBUAH KARNAVAL IED

Assalamu 'alaikum wr.wb.

Beberapa waktu yang lalu kami menghadiri karnaval, Eid
karnaval tepatnya,
yang diselenggarakan oleh salah satu masjid di South-bay sini.

Lazimnya sebuah karnaval, tentunya meriah dengan macam-macam
fun-ride untuk
anak-anak, cotton-candy,ada juga stand-stand, dan tentu
saja...mmm,
makanan. Menu yang disajikan kali ini kebanyakan ala
pakistan dan
afganistan. Jadilah saya nyicip briyani dan barbeque
pakistani-nya.


Eh kok jadi cerita soal makanan. Membaca resep bakso-nya
uni Lila dan
serba-serbi indomie-nya ummu Itqon jadi laper deh.

Dingin-dingin begini
asik kali ya makan bakso pedes.
Wah, maaf nih keterusan. Soal
makanan tadi,
ini memang ada hubungannya dengan cerita yang ingin saya
tuliskan.

Tengah asik menyuapi si kecil sambil mengawasi
kakak-kakaknya naik
merry-go-arround (waktu saya bocah dulu,di kampung saya
namanya korsel
atawa komedi putar), tiba-tiba seorang sister melintas
tergesa di hadapan
saya. Tadinya sih mau lewat begitu saja, tapi ketika melihat
wajah saya,
dia lantas berbalik mendekat dan duduk tepat di sebelah.

"Ah sukurlah bukan orang Arab." ujarnya sambil menghela
nafas seraya
menarik sedikit kerudung di kepalanya yang mencong-mencong.


"Assalamu'alaikum, sister. Apa kabar ?" tanya saya mencoba
menyapa dengan
ramah.

"Alaikum salam. yah baik-baik saja. Anda berasal dari mana
sister ?"

"
Indonesia," jawab saya.

" Di mana itu ya?" tanyanya,"sebelah mananya negara arab?".
Ah tipikal. Hampir semua orang di lingkungan muslim pun tidak
tahu di mana
itu
Indonesia, atau barangkali tidak tahu apakah itu nama
negara atauhkah
jenis makanan. Saya jelaskan sedikit sekalian ngasih tahu
kalau
Indonesia
itu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dia
cuma bengong
seperti tak percaya.


"Kok tidak pernah kedengaran ya." komentarnya. Nah kalau
sudah begini,
selain mangkel, sedih juga rasanya. Kita, muslimin
Indonesia
yang ratusan
juta jumlahnya seperti tak pernah kedengaran perannya sebagai
kaum penebar
rahmat.
Bukan sekali dua kalau bertemu sisters mancanegara di
sini, mereka
tidak tahu
Indonesia apalagi perannya sebagai pembela ummat
Islam.

Bagaimana tidak mengherankan, kalau di negeri sendiri saja
ummat Islam
sudah dipecundangi dengan sangat memalukan.


"Mungkin anda saja yang lupa pelajaran geografi." kata
saya sembari
memandang wajah arab yang cantik ini, putih kemerahan
warna kulitnya.
Sayang, ada gelisah di matanya.

"Anda sendiri dari mana ?" tanya saya. Dia sebutkan negara
asalnya.


"Anda tahu di mana itu ?" tanya sister itu.

"Oh tentu saja. Salah satu negara Arab dan..." saya
sebutkan beberapa
negara lain yang berbatasan dengan negerinya itu serta produk
terkenal yang
dihasilkan negaranya.

"Anda tahu semua itu ?" tanyanya heran. Saya tersenyum.

"Maaf,no offense, anda
kan bukan orang arab, kenapa anda
pakai hijab ?"
tanya nya tiba-tiba. Belum sempat saya jawab, sister
ini buru-buru
melanjutkan.


"Actually..., hijab ini bagi saya adalah beban. Itu sebabnya
saya tidak mau
kembali ke negara asal saya, tidak bebas, di sini saya bebas.

..."

"Mengapa anda berpikir begitu ?" tanya saya.

"Yah anda tahu
kan, kami di negara arab diwajibkan pakai hijab
oleh negara.
Tidak ada kebebasan bagi wanita...tapi di sini saya bisa
berbuat apa saja.
Oh ya saya pakai hijab begini sewaktu-waktu saja, kalau
ada acara
khusus...sebenarnya saya juga tidak suka bertemu orang arab,
mengingatkan
saya pada kebodohan dan kekasaran saja..."

"Lalu bagaimana anda bisa sampai ke
US ?" tanya saya.

"Waktu itu ada program pertukaran pelajar keperawatan dan
saya termasuk
yang dikirim kesini.
Setelah program selesai, saya bertekad
untuk tidak
kembali.
Saya sudah bulat hidup mati di sini. Tapi saya
butuh pegangan
supaya bisa tinggal di sini
kan ? Karena itulah lantas saya
kawin dengan
orang Bule.
Status saya berubah. Saya sudah citizen di sini
sekarang..."
ujarnya dengan nada bangga."
Saya tidak harus pakai hijab.
Saya bisa punya
pekerjaan yang baik.
Masa depan saya terjamin." lanjutnya.

"Jadi anda bahagia sekarang ini ya ?" tanya saya, penasaran
mengamati mata
lentiknya yang resah.

"Ah jangan begitulah..." ujarnya seraya membuang pandangan
jauh kedepan.

Dihelanya nafas panjang.

"Anda tanya soal perkawinan saya
kan ? Anda tahu sendiri,
orang di sini
pagi kawin, sore bisa cerai lagi. Atau kalaupun kawin tidak
ada jaminan
bakalan setia, maksudku...yah sewaktu-waktu ganti
pasangan...atau punya
kencan lain...atau tak perlu kawinlah...bikin bengkak beban
tax saja...ya
memang kadang saya masih ketemu dia..."

" Bukan soal itu," kali ini saya yang memotong.

"Maksud saya anda sudah peroleh kebebasan yang anda
inginkan ... apakah
anda masih akan terus menghindar dari bangsa anda ?"

"Memang begitu. Kadang saya ingin datang juga ke perayaan
muslim macam Ied
ini, sekadar datanglah, makan-minum, ketemu menu yang cocok di
lidah. Tapi
saya memang nggak nyaman deket-deket orang arab. Nanti
dikatakan orang sini
teroris lagi ....saya malu kalau orang-orang tahu saya
ini muslim."
jelasnya.

Saya jadi teringat cerita seorang teman dari Mesir sewaktu
baru pindah
rumah.
Tiba-tiba saja tetangganya datang memohon, "Please,
jangan ledakkan
rumah saya." Astagfirullah. begitu buruknya gambaran
tentang orang Arab
atau orang Islam di negeri ini.

"Eh anda belum jawab pertanyaan saya tadi soal hijab."
sister itu
mengingatkan.

"Negara kami tidak pernah mewajibkan hijab. Kami berhijab
karena kesadaran.

Pada mulanya ini pilihan yang sangat sulit. Sebagian
dari kami telah
kehilangan pekerjaan bahkan kesempatan untuk sekolah
karena berhijab.

Sebagian lagi mengalami cacat seumur hidup akibat penyiksaan
karena memakai
hijab.
Belum lagi hinaan dan cemoohan. Tapi muslimah di
sana
tegar dengan
pilihannya. Semakin ditekan, kesadaran berislam semakin tumbuh
subur.
Jadi
sangat ironi dengan apa yang terjadi pada diri anda..."

" Hey, bukankah negara anda muslim terbesar...?"

"Memang benar. Sebagian dari kami percaya bahwa pemerintah
sangat toleran
dengan kaum non muslim. Demi toleransi ini, kalau perlu
mayoritas mengalah
....begitulah kira-kira, selain banyak lagi masalah lain
yang rumit yang
tidak bisa anda bayangkan." Entah mengapa masih saja ada
pembelaan dalam
jawaban saya.
Seburuk-buruknya negeri kita, rasanya masih
saja tak rela
untuk menyebutnya di depan bangsa lain.

"Jadi kalau negaramu tidak mengharuskan, kenapa kamu mau
pakai hijab ?
bodoh sekali bukan ?" tanyanya lagi.

"Seperti saya katakan tadi, kami melakukannya karena
kesadaran sebagai
muslimah," jawab saya.


"Apa maksudmu ? saya juga muslimah." sanggahnya.

"Tahukah anda bahwa tanpa diwajibkan oleh negara anda
sekalipun, kewajiban
berhijab itu tetap ada ? " saya balik bertanya.

"Anda membingungkan." jawabnya.

"Lihatlah ini." jawab saya sembaring menyodorkan Qur'an saku
padanya.
Saya
bukakan ayat tentang hijab di
surat al Ahzab.

"Maksudmu kewajiban itu adalah perintah Tuhan ..?" tanyanya.

"Tidakkah anda tahu ? atau pernah membacanya ?"

"Mmm, no." jawabnya ragu. Saya jadi berpikir
jangan-jangan sister ini
bahkan tidak punya qur'an di rumahnya.

"Anda boleh menyimpannya." lanjut saya. Ia nampak ragu.
"Maaf Qur'an ini
memang sudah lusuh.
Maklumlah saya memilikinya sejak lebih
dari 13 tahun
lalu waktu masuk universitas.
Setidaknya simpanlah, sampai
anda punya yang
baru..." saya berusaha meyakinkannya.


"Astaga..selama itu anda menyimpannya ?" tukasnya. Saya
tersenyum.


Yah dia teman saya saat sendirian. Hanya saja saya
agak kesulitan
menghafalnya, mungkin karena tidak mengerti bahasanya.

Karenanya saya
selalu membawanya untuk membaca dan mengingat perintah Tuhan.


Anda beruntung lahir di negara yang berbahasa al Qur'an." ujar
saya.
" Anda
tahu, Kebebasan bagi saya adalah terbebasnya dari segala bentuk
penghambaan
kecuali kepada Allah. Itu sebabnya bagi saya berhijab
adalah salah satu
bentuk kebebasan, bukannya beban seperti yang anda rasakan."


Dia diam saja. Saat itu hujan mulai turun rintik-rintik. Si
sulung dan si
nomor dua datang sambil berlari-lari kecil.


" Is it ashr time ?" tanya si sulung. Saya jawab insya Allah
sebentar lagi.


"Ok," jawab si sulung. " Let's wudu" ajaknya kepada
adiknya. Saya ikuti
mereka dengan pandangan sayang.
Walau kadang bandel,
syukurlah kalau soal
shalat mereka sangat cinta.

"Mereka anakmu juga?" tanya sister itu lagi.

"Ya" jawabku.

"Berapa umurnya ?"

"Yang besar hampir 6 tahun, adiknya 4, dan si kecil ini
dua bulan lagi
tepat 2 tahun." jawab saya.


Sister itu terdiam.

"Kalau kamu jadi saya, apakah kamu akan stay di negara arab
?" tanyanya
tiba-tiba.

"Di manapun kita harus berjuang untuk kebebasan yang
sesungguhnya.
Berjuang
untuk menegakkan nilai-nilai Tuhan.
Meski itu di negara Arab.
Bila itu yang
anda perjuangkan, dimana pun insya Allah saya mendukung anda"
jawab saya.


"Kalaupun tinggal disini, bila hanya jadi budak nafsu,tidak
akan memberi
kebahagiaan. Anda harus berjuang untuk kebebasan yang
sebenarnya..."

Sore makin terasa dingin. Waktu saya ajak ke dalam masjid
untuk shalat
ashar, dia menggeleng.


"Saya harus pulang." tuturnya. Dia melangkah perlahan,
kali ini tidak
tergesa seperti tadi. Saya berdoa mudah-mudahan saja ia
masih ingat cara
shalat. Di dalam masjid saya berjumpa sister Khadijah dari
Palestina.
Entah
mengapa tiba-tiba ia berkata,

"Sesungguhnya tugas terberat kami adalah ....mengislamkan
orang-orang Arab
sendiri."

Berceritalah ia tentang sebagian bangsanya yang malu
mengaku dirinya
muslim. Apa saja dilakukan asal bisa terbebas dari atribut
keislaman yang
identik dengan terorisme, keterbelakangan dan belenggu
kebebasan.

Teringat saya dengan kondisi di negara kita yang
sebenarnya tidak jauh
berbeda.
Jalan ini masih amat panjang terbentang, mendaki lagi
sukar.
Kian
lama kian terasa seakan menggenggam bara. Saya dan anak-anak
pulang ketika
gerimis makin membasah.
Dua jagoan kami berceloteh
tentang karnaval,
sementara pikiran saya masih di pertemuan tadi.

Wa Islama....wa islama..., wahai Islam...wahai Islam,
begitulah bisikan
syair yang terngiang di telinga saya. Bagaimana kita bisa tegak
penuh harga
diri jika umat Islam sendiri malu dengan agamanya ?

Bagaimana kita dapat menjadi penebar rahmat kalau kita
sendiri jauh dari
firman sang Pemberi Rahmat?

Ah..saya jadi ingin merajut malam ini. Tidak, bukan merajut
rumah laba-laba
yang rapuh tapi merajut permadani yang kuat yang bakalan
menerbangkan anak
cucu kami ke alam kebebasan,....bebas mencintai tuhannya.

Wassalam, Ema
www.imsa.nu


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor ---------------------~-->
Get your FREE credit report with a FREE CreditCheck
Monitoring Service trial
http://us.click.yahoo.com/ACHqaB/bQ8CAA/ySSFAA/pCOolB/TM
---------------------------------------------------------------------~->

-----
"Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."
(QS Al-Asr(103):1-3)


Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/



.