Bersekolah

 

Semasa tinggal di Australia, kami sempat terprovokasi oleh rekan-rekan lain
untuk memasukkan anak kami yang saat itu berusia 3 tahun ke Child Care.

"Memang pada awalnya, anak akan menangis, menggelendot dan histeris," begitu
promosi banyak rekan kami waktu itu, " tetapi biarkan 1 bulan berlalu, maka
bulan kedua, anak itu sudah tidak mau lagi diajak pulang dan bahasa
Inggrisnya akan cas-cis-cus, mengalahkan Anton Hilman dan Nisrina Nur Ubay,
di TV itu."

Ternyata, lain anak lain pula kebutuhannya. Bukannya anak kami berkembang
pesat eperti yang teman-teman kami promosikan, justru selama 2,5 bulan di
Childcare itu, anak kami mengalami depresi. Ketika acara bermain atau tidur
siang di Childcare, anak kami itu hanya menatap jendela kaca dengan menahan
tangis... Akhirnya anak itu kami tarik saja dari Child care ..

Guratan pengalaman itu, kembali membayang ketika kami melepaskan anak kami
itu memasuki hari-hari pertamanya di Primary School Inggris ini. Sungguh
kami khawatir akan kemampuan adaptasinya, karena tidak ada satupun teman
yang bisa diajak bicara dalam bahasa Melayu di sekolah itu.

Tapi itulah rahmat, yang sering kali tidak kita sadari datangnya.
Ketika kami sudah siap dengan isak tangisnya menjelang pulang sekolah dan
nafsu makannya yang tak terkendali setiap kali mengalami depresi, anak kami
itu tersenyum bahagia.

"Aku mau tinggal di sekolah saja, biar besok bisa paling pagi datang di
sekolah itu. Aku senang sekali dengan sekolah itu, mestinya hari Sabtu nggak
usah libur......"

Apa rahasia anak itu menjadi senang bersekolah?

Tampaknya yang pertama dan utama adalah Kepala Sekolah, guru dan
teman-temannya.

Mrs. Hattersly, kepala sekolah itu mengingatkan pada sosok seorang ibu.
Lembut, simpatik, namun mumpuni. Tersenyum menyapa anak-anak setiap pagi,
mengincourage anak-anak dengan aturan yang jelas antara reward dan
punishment...
Di sekolah itu disusun list perilaku yang harus ditaati setiap siswa: harus
peduli lingkungan (tidak boleh buang sampah sembarangan), mengerjakan segala
sesuatu dengan benar dalam sekali kerja (doing the right thing first time
right), hormat dan menjalankan perintah orang tua sekali suruh (respect & do
the older people ask), tidak boleh berkelahi, dsb, yang kalau tidak salah
ada 7 macam.
List itu ditempel di dinding-dingding kelas, ruang ganti pakaian, kamar
mandi, dsb. dan jika dilanggar, maka yang melanggar akan ditulis namanya di
Sad Face Book, dan jika sudah keterlaluan, orang tua anak tersebut akan
dipanggil di sekolah. Bahkan jika memang sudah tidak bisa dikendalikan
(misal sudah lebih dari jumlah tertentu pelanggaran itu dilakukan) maka anak
dapat dikeluarkan dari sekolah. Jadi tampak anak-anak ini selain mandiri
juga tanggung jawab pada perilaku sendiri.

Guru-guru di sekolah itu begitu concern dengan tugasnya. Mereka membuat
rencana pengajaran yang bahkan sangat detail sampai per individu. Jadi anak
dipantau perkembangannya, bersaing dengan masa lalunya sendiri. Raport
anak-anak lebih bersifat kualitatif, bukan angka-angka yang kadang membuat
anak minder jika tidak mencapai angka tertentu seperti di Indonesia. Tetapi
anak yang berprestasi tetap mendapatkan penghargaan berupa sticker,
sertificate dan tampil di Good Work Assembly seminggu sekali.

Teman-teman yang welcome adalah juga kunci utama kebahagiaan anak
bersekolah. Tidak ada SARA dan gender.
Dengan iklim yang kondusif seperti itu, alhasil, anak pertama kami itu
mengalami perkembangan yang amat pesat. Dalam waktu 6 bulan, bahasa
Inggrisnya sudah melewati kemampuan orang tuanya terutama dalam hal
pronounciation, spelling, speaking dan listening.

Rupanya, jika segala sesuatu memang sudah masanya, akhirnya kita akan
mengalami juga. Jadi tidak perlu nggege mangsa, ingin mencetak anak-anak
kita seperti anak-anak orang lain. Kadang kita merasa bahwa kita sangat
mengerti akan diri anak kita, namun pengetahuan kita itu sungguh selalu
masih sedikit.

(bersambung)